MAARIF https://jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif <p>MAARIF is a scholarly journal dedicated to the critical examination of Islamic and social thought. Published biannually (June and December) by the MAARIF Institute for Culture and Humanity, it provides a platform for rigorous analysis and discourse on issues concerning Islam, Indonesia, and global humanity. The journal showcases diverse perspectives from Indonesian and international scholars, religious leaders, researchers, and activists. Since its inception in June 2003, MAARIF has featured contributions from prominent Indonesian intellectuals and academics.</p> <p>Beginning in 2025, MAARIF will broaden its scope to encompass Indonesian poetry and short story, along with interviews of influential individuals. Moreover, each edition's cover will showcase artwork by Indonesian artists, with the literary and artistic content carefully curated to complement the edition's thematic focus.</p> MAARIF Institute en-US MAARIF 1907-8161 Gerakan Mahasiswa Menentang Pemerintah: Terbentuknya Satu Generasi Baru https://jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif/article/view/291 <p>This article examines the dynamics of student movements in Indonesia, which have become increasingly massive and cross-campus. Student movements are positioned as pressure groups that emerge when democracy weakens, the economy stagnates, and formal opposition diminishes. Key driving factors include the weakening of the Corruption Eradication Commission (KPK), the rapid passage of laws such as the Omnibus Law on Job Creation, and the practice of political dynasties facilitated by the Constitutional Court. Economically, the stagnant growth rate of 5% per year has been perceived as insufficient to absorb new labor forces, creating anxiety among students as future job seekers. Politically, the House of Representatives (DPR) is viewed as subordinated to the president due to his dominance over political parties, prompting students to assume the role of a non-formal opposition. They employ street demonstrations, cross-campus networks, and alliances with other societal groups. The article concludes that student movements have become a political opposition force seeking to correct democratic backsliding and economic injustice in the current Indonesian government.</p> Amiruddin Copyright (c) 2025 https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-11-27 2025-11-27 20 1 47 62 Bahasa, Narasi, dan Simbolisme dalam Memvalidasi Penyimpangan Praktik Beragama dalam Film Bidaah (2025) https://jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif/article/view/292 <p>This study examines the deviation from religious practices depicted in the film Bidaah (2025) using Pierre Bourdieu’s theory of symbolic power. The research aims to reveal how language, narrative, and symbolism can be manipulated to validate deviant religious practices, ultimately serving to legitimize and exploit power. Through strategic use of these aspects, religious leaders in the film Bidaah (2025) validate such deviations to exert control over particular domains of power. This study employs a descriptive qualitative method to analyze the film’s narrative and visual texts. The findings reveal recurring patterns used to dominate the field of power through language, narrative, and symbolism in validating deviant religious practices, namely: (1) deifying oneself, (2) justifying all actions as commands from the Prophet, (3) creating a habitus to reinforce one’s position, and (4) constructing Doxa as an alternative truth.</p> Welcy Fine Muhammad Fadli Zacki Putra Pratama Copyright (c) 2025 https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-11-27 2025-11-27 20 1 63 82 Amburadulnya Budaya Politik Kita: Percakapan dengan Manneke Budiman https://jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif/article/view/287 <p style="font-weight: 400;">Manneke Budiman adalah seorang Profesor Kajian Sastra dan Kajian Budaya yang pernah menjabat sebagai Ketua Departemen Ilmu Susastra di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Ia meraih gelar sarjana (S.S.) Sastra Inggris dari Universitas Indonesia, gelar M.A. bidang Sastra Bandingan dari University of Wisconsin-Madison, Amerika Serikat, dan gelar Ph.D. bidang Kajian Asia dari University of British Columbia, Kanada. Ia juga memperoleh Sertifikat Pascasarjana dalam Kajian Budaya Inggris dari University of Warwick, Inggris. Minat risetnya meliputi kajian media dan subkultur, kajian gender, kajian ingatan (<em>memory studies</em>), dan kajian ketahanan komunitas. Ia menjadi anggota dewan redaksi di beberapa jurnal akademik, seperti <em>Wacana Journal of the Humanities of Indonesia</em>; <em>Asian Women</em> (Korea Selatan); <em>Paradigma Jurnal Kajian Budaya</em>; dan <em>Makara Journal of Human Behavior Studies in Asia</em>. Ia juga merupakan anggota Dewan Penasihat <em>Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia</em>.</p> <p style="font-weight: 400;">Selain itu, Manneke Budiman merupakan salah satu pendiri dan anggota dari <em>International Consortium of Mangunegaran and Sustainable Social Transformation</em>, serta anggota rekan dari <em>Institute for Trans-Pacific Cultural Research</em>, Simon Fraser University, Kanada. Ia menjabat sebagai Editor Seri untuk <em>Engaging Indonesia: Critical Dialogue of Culture and Society</em> terbitan Springer Nature (bersama Melani Budianta, Abidin Kusno, dan Rita Padawangi). Saat ini, ia menjabat sebagai Ketua Dewan Etik Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI), Ketua Dewan Penasihat English Studies Association in Indonesia (ESAI), dan Ketua Alumni Katolik Universitas Indonesia (Alumnika UI).</p> Nirwansyah Copyright (c) 2025 https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-11-27 2025-11-27 20 1 5 18 Kekuasaan yang Tak Terjemahkan: Politik Bahasa di Indonesia Pascakolonial https://jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif/article/view/288 <div> <p><span lang="IN">Pergantian kepemimpinan nasional yang diresmikan pada Oktober 2024 membawa perubahan signifikan dalam ranah diskursus politik, terutama pada pola komunikasi yang mencerminkan gaya kepemimpinan dalam praktik bernegara. Kehadiran bahasa dalam berbagai konteks politik kini tidak hanya menjadi sarana diplomasi atau representasi kesejahteraan masyarakat, tetapi juga menjadi cermin etika komunikasi dalam merespons kepentingan publik. Bahasa, dalam proses lahirnya kebijakan dan pembentukan relasi nasional maupun internasional, memainkan peran penting yang bukan sekadar sebagai alat representasi, tetapi juga sebagai penentu logika kekuasaan. Selama setahun pertama pemerintahan ini, muncul gejala “pemburaman makna” dan pernyataan-pernyataan yang mengandung unsur<span class="apple-converted-space">&nbsp;</span><em>ketakterjemahan</em><span class="apple-converted-space">&nbsp;</span>(<em>untranslatability</em>) (Apter, 2013). yang tampaknya sengaja diproduksi untuk menolak kritik dan meneguhkan kuasa secara simbolik. Gaya bahasa semacam ini menunjukkan kecenderungan otoritarian dan menimbulkan efek teror afektif, khususnya terhadap kelompok perempuan. Lydia Liu, dalam<span class="apple-converted-space">&nbsp;</span><em>Clash of Empires</em><span class="apple-converted-space">&nbsp;</span>menyebut fenomena semacam ini sebagai bentuk “<em>primitivity</em>” dalam ikon yang<span class="apple-converted-space">&nbsp;</span><em>mimetik</em> yakni reproduksi kekuasaan melalui tanda dan citra (Liu, 2004). Konsep ini mengingatkan pada pandangan Antonio de Nebrija dalam<span class="apple-converted-space">&nbsp;</span><em>Castilian Grammar</em>, yang menulis bahwa “<em>language has always been the companion of empire</em>” &nbsp;(Nebrija, 1492). Pandangan Nebrija tersebut menggambarkan bagaimana bahasa sejak awal dikonstruksi sebagai perangkat pengendalian kolonial dan penyebaran kekuasaan. Fenomena serupa tampak dalam praktik komunikasi publik masa kini melalui <em>gestur</em> dan pilihan kata yang agresif, seperti seruan “<em>ndasmu</em>!” dalam forum resmi yang menandai pewarisan bentuk kuasa imperial dalam tubuh bahasa politik. Bahasa tubuh dan ujaran seperti ini berfungsi sebagai<span class="apple-converted-space">&nbsp;</span><em>perpanjangan kuasa imperial</em><span class="apple-converted-space">&nbsp;</span>(<em>imperial extension of power</em>) (Liu, 2004). Dalam konteks ini, gaya komunikasi yang bersifat performatif dan represif dapat dibaca sebagai<span class="apple-converted-space">&nbsp;</span><em>subteks fasisme</em>: strategi bahasa yang menanamkan rasa takut sekaligus menormalisasi kekuasaan di tengah masyarakat.</span></p> </div> Rachmi Diyah Larasati Copyright (c) 2025 https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-11-27 2025-11-27 20 1 19 26 Antara Janji Populis dan Realitas Politik https://jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif/article/view/289 <p>Dalam lanskap politik Indonesia, “setahun pertama” bukan sekadar penanda waktu, melainkan ritual evaluatif yang sarat makna psikologis. Ia menciptakan ruang simbolik di mana publik menanam harapan, elite membangun citra, dan media menyusun narasi. Dalam tradisi psikologi politik, momen transisi kekuasaan seperti ini disebut sebagai fase “kondensasi harapan” ketika ekspektasi kolektif dipadatkan dalam figur pemimpin baru, dan setiap <em>gestur</em> awal dibaca sebagai pertanda arah kekuasaan (Priyetno, 2024). Harapan bukan hanya soal kebijakan, tetapi tentang pemenuhan kebutuhan emosional warga: untuk merasa dilihat, didengar, dan dijanjikan masa depan.</p> Afthonul Afif Copyright (c) 2025 https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-11-27 2025-11-27 20 1 27 40 Menyemai Demokrasi, Menuai Otoritarianisme https://jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif/article/view/290 <p>Sekitar dua puluh lima abad lamanya –kata Robert A. Dahl- demokrasi mengalami permenungan, tapi tampaknya kita tidak kunjung menghasilkan kesepakatan perihal beberapa hal yang paling mendasar mengenai demokrasi (Robert A. Dahl, 1998). Pada titik ini, mungkin kita akan bertanya-tanya, sebenarnya apa yang dimaksud dengan demokrasi? Tentu dalam berbagai literatur terdapat ratusan defenisi. Namun, dalam kasus Indonesia, -dan juga beberapa negara lain- pertanyaan bukan sekedar itu, tetapi juga perihal mengapa negara mengaku demokrasi dapat berujung ke arah sebaliknya?</p> Zainal Arifin Mochtar Copyright (c) 2025 https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-11-27 2025-11-27 20 1 41 46 Puisi Zulkifli Songyanan https://jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif/article/view/293 <p>Puisi Zulkifli Songyanan</p> Zulkifli Songyanan Copyright (c) 2025 https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-11-27 2025-11-27 20 1 83 90 Surat untuk Tuhan https://jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif/article/view/294 <p>Rumah itu – satu-satunya di lembah itu – terletak di puncak sebuah bukit yang rendah. Dari situ nampak sungai dan, setelah tempat kandang binatang, nampak ladang jagung yang sudah matang diselang-selingi bunga-bunga kacang yang menjanjikan musim panen yang baik.</p> <p>Hanya satu saja yang dibutuhkan ladang itu saat itu: turunnya hujan, atau paling tidak gerimis. Sepanjang pagi Lencho, yang akrab dengan setiap lekuk ladangnya itu, tak henti mengamati langit bagian timur laut......</p> <p>&nbsp;</p> <p><strong>Catatan</strong>: Terjemahan cerpen ini diterbitkan semata-mata untuk tujuan pendidikan. Karya ini dimaksudkan untuk studi, analisis, dan pembelajaran, bukan untuk tujuan komersial. Semua hak atas karya asli tetap menjadi milik penulis dan penerbitnya.</p> Gregorio Lopez Fuentes Saut Situmorang Copyright (c) 2025 https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-11-27 2025-11-27 20 1 91 94 Editorial https://jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif/article/view/286 <p style="font-weight: 400;">Budaya politik selalu menjadi topik yang tidak pernah habis untuk diperbincangkan. Perjalanan panjang bangsa Indonesia kerap menyisakan ruang-ruang perenungan yang bila diamati dari berbagai sudut sepertinya tetap akan bertemu pada berkelindannya banyak hal, yang dari hasil mufakat tim redaksi, pada akhirnya, memerlukan pembacaan kembali atas budaya politik itu.</p> <p style="font-weight: 400;">Budaya politik sudah tidak lagi dipahami dari perspektif ilmu politik semata dan telah diperluas sebagai kumpulan kepercayaan, nilai, dan praktik bersama yang membentuk bagaimana kekuasaan diatur, dilaksanakan, dan ditentang dalam masyarakat. Ini semakin menekankan bahwa persoalan politik tidak selesai hanya dengan analisis politik praktis di tingkat elite belaka. Oleh karena itu, Jurnal Maarif edisi ini menerbitkan kembali edisi khusus dengan tema Budaya Politik Indonesia.</p> Hamzah Fansuri Heru Joni Putra Copyright (c) 2025 https://creativecommons.org/licenses/by/4.0 2025-11-27 2025-11-27 20 1 1 4