Krisis Ekologi Bali: Pergulatan Moralitas Lokal dalam Arus Wacana Iklim Global
DOI:
https://doi.org/10.47651/mrf.v19i2.259Keywords:
BaliAbstract
Pulau Bali terkenal sebagai surga tropis yang rimbun dengan tanah vulkanik yang subur, dihuni oleh para petani yang juga seniman dan pencipta ritual penuh warna, sistem irigasi yang kompleks dan lanskap sawah yang berkelanjutan secara ekologis dan sangat menakjubkan.
Keindahan kehidupan sehari-hari, pertanian dan ritual ini telah memikat banyak generasi turis dan antropolog yang menafsirkan ‘tatanan yang sempurna’ (Lansing 2006) dari lanskap budaya Bali sebagai perwujudan dari kosmologi yang didasarkan pada kaidah-kaidah keseimbangan dan keselarasan di antara hal-hal berseberangan, misalnya dalam membersihkan sekaligus menyuburkan aliran ‘air suci’ di sepanjang poros kosmos antara puncak-puncak gunung vulkanik dan laut. Begitu pentingnya air dalam praktik ritual, orang Bali biasa menyebut agama mereka sebagai agama tirtha, ‘agama air suci’.
Downloads
References
Hornbacher, A. (2005). Zuschreibung und Befremden: Postmoderne Repräsentationskrise und verkörpertes Wissen im balinesischen Tanz. Berlin: Reimer.
Hornbacher, A. (2013). A mood of crisis: Balinese ritual culture between creolization and criticism. In A. Horstmann & T. Reuter (Eds.), Faith in the future: Understanding the revitalization of religions and cultural traditions in Asia (pp. 111–140). Leiden: Brill. DOI: https://doi.org/10.1163/9789004233669_007
Lansing, J. S. (2006). Perfect order: Recognizing complexity in Bali. Princeton, NJ: Princeton University Press. DOI: https://doi.org/10.1515/9781400845866
Roth, D., & Sedana, G. (2015). Reframing Tri Hita Karana: From “Balinese culture” to politics. The Asia Pacific Journal of Anthropology, 16(2), 157–175..https://doi.org/10.1080/14442213.2 014.994674 DOI: https://doi.org/10.1080/14442213.2014.994674